Jamaah Tabligh Anti Ilmu Dan Ulama?
Tuduhan seperti ini sangat bertolak belakang dengan kenyataan jamaah tabligh yang sebenarnya. Sebab ilmu termasuk dalam rangkaian enam sifat yang menjadi kurikulum inti pembinaan jamaah tabligh. Di dalam enam sifat tersebut, ilmu adalah materi yang ketiga. Dan seluruh kurikulum enam sifat tersebut, senantiasa diulang–ulang dan di usahakan untuk diterapkan ke dalam kehidupan sehari–hari.
Bukankah di dalam program jamaah tabligh terdapat program majelis ilmu (4 jam untuk taklim), yang dibaca setiap hari ketika mereka sedang khuruj ataupun ketika mereka sedang ditempatan mesjid sendiri selama 30 menit di rumah mereka masing–masing 30 menit.
Sesungguhnya di kalangan Jamaah Tabligh, tidak sedikit alim ulama yang ikut bergerak di dalamnya. Jika dihitung jumlahnya, memang masih jauh dari jumlah orang–orang awamnya. Namun dari keberadaan mereka sudah cukup untuk menjadi pengendali usaha dakwah ini disetiap daerah.
Para Masyaikh Tabligh sendiri adalah para ulama yang sangat diakui keulamaannya. Tidak hanya dalam bidang keilmuan saja, bahkan hampir setiap mereka adalah tokoh dalam empat hal;
- Dalam bidang dakwah, mereka adalah para ulama sekaligus da’i – da’i yang tidak diragukan lagi perjuangan dan pengorbanan mereka dalam mendakwahi umat.
- Dalam bidang keilmuan, mereka adalah para ustadz, yang disela – sela kesibukkan dakwahnya, mereka tetap meluangkan waktu untuk mengajar di pesantren mereka. Seperti para Masyaikh India, sebagian besar mereka adalah para pengajar di Pesantren Kasyiful Ulum Nizhamuddin Delhi, ataupun di Darul Ulum Saharanpur.
- Dalam bidang tarekat, mereka adalah ahli – ahli tashawwuf, yang disela – sela kesibukkan mereka berdakwah dan mengajar, mereka masih menyempatkan diri untuk tenggelam dalam dzikir dan taqarrub demi pemeliharaan dan penigkatan kekuatan ruhaniyah mereka.
- Dalam bidang tulisan, mereka adalah para pengarang dan penyusun kitab – kitab besar. Walaupun sudah tersita waktu mereka untuk dakwah, mengajar, dan berdzikir, mereka masih dapat meluangkan waktu untuk menulis berabagai disiplin ilmu agama. Diantara karya–karya besar mereka adalah; Amaniyal Ahbar yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Yusuf Kandhalawi. Kitab ini adalah kitab fiqih bermadzhab Hanafi, empat jilid besar, berjumlah 1456 halaman. Beliau juga menulis kitab – kitab hadits yaitu; Hayatus Sahabah dan Muntakhab Ahadits. Sedangkan Syaikh In’amul Hasan telah menulis kitab Abwabu Muntakhabah min Misykatil Mashabih, yaitu kitab hadits sebanyak dua jilid. Dan Syaikhul Hadits Muhammad Zakariyya juga telah menulis berbagai kitab yang sudah kita kenal kamasyuhurannya.
Dan masih banyak lagi tokoh–tokoh ulama jamaah Tabligh yang lainnya. Hampir rata – rata mereka adalah da’i, Ustadz, ahli dzikir, dan penulis buku. Setidaknya, kebanyakan mereka adalah lulusan pondok pesantren ataupun jamiah – jamiah Islamiyah di negara mereka masing – masing, sebagian mereka bahkan melanjutkannya ke jenjang mufti, Darul hadits dan sebagainya.
Alhamdulillah, dewasa ini perkembangan Jamaah Dakwah dan Tabligh nampak meningkat dengan pesat. Peranan da’i–da’i ulama mulai terasa di setiap markas. Sebagian mereka bahkan menggerakkan santri–santrinya untuk terjun dalam usaha dakwah ini secara rutin, tanpa mengganggu kegiatan mengaji mereka.
Dan selanjutnya, yang sungguh menggembirakan adalah dikirimnya jamaah–jamaah ulama fisabilillah di berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Pengorbanan mereka melebihi orang–orang awam pada umumnya. Diantaranya adalah para lulusan Al – Azhar mesir yang sudah banyak terlibat dengan usaha dakwah dan Tabligh ini. Juga dari Darul Ulum Deuwsbery Inggris, yang ratusan jamaah ulama dikirim khuruj fi sabilillah ke berbagai tempat setiap tahun untuk khuruj fi sabilillah ke berbagai belahan dunia. Dan masih banyak lagi kebangkitan – kebangkitan alim ulama dalam jamaah tabligh.
Setelah kepulangan para ulama tersebut dari khuruj fi sabilillah, maka masyarakat umum di kampung–kampung pun dapat merasakan manfaat dan faedah mereka. Semangat orang–orang awam kepada agama mulai bangkit, sehingga selain banyaknya orang–orang tua yang bertaubat, anak–anak mereka pun mulai berminat untuk mendalami ilmu–ilmu agama dengan belajar di pondok–pondok pesantren, sehingga generasi beragama mulai banyak bermunculan.
Selain itu, juga telah muncul kesediaan Madrasah–madrasah dan pondok–pondok pesantren untuk dijadikan tempat– empat pertemuan dan ijtima’ secara rutin. Baik untuk wilayah desa, kecamatan, provinsi, dan tingkat nasional.
Cukup banyak dari kalangan alim ulama jamaah tabligh yang telah menegaskan mengenai kepentingan ilmu dan ulama dalam nasehat–nasehat mereka ataupun berbagai kitab mereka. Misalnya, Syaikh In’amul hasan telah menulisnya di dalam kitab Abwabu Muntakhobah, Syaikh Muhammad Yusuf juga telah menulis bab ilmu di dalam Hayatus Sahabah dan Muntakhab Ahadits, juga kitab – kitab lainya.
Di dalam kiatab–kitab tersebut, para ulama tabligh telah menuliskan bab khusus mengenai ilmu dan ulama. Mereka mengumpulkan dalil–dalil yang berkenaan dengan kepentingan ilmu dan ulama, kemudian menjelaskannya sebagai bekal untuk diamalkan dan disebarkan oleh da’i–da’i jamaah Tabligh.
Sebagai missal, mari kita simak bagaimanakah Syaikh Yusuf Al – Kandhalawi menulis tentang kepentingan ilmu di dalam kitabnya; Munthakab Ahadits.
Ayat Al-Quran tentang Ilmu
Allah SWT berfirman : Allah sudah menurunkan kepadamu (wahai Muhammad) Kitab dan Hikmah dan mengajarkan kepadamu apa yang tidak kauketahui sebelumnya. Dan karunia Allah kepadamu besar sekali. (QS. An-Nisa 113)
Hadits Nabawi Tentang Ilmu
Usman Ibnu ‘Affan r.a. meriwayatkan : Rasulullah SAW bersabda : Yang terbaik di antara kamu adalah orang yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya. (HR. Bukhari)
Abu Sa’id Al-Khudri r.a. meriwayatkan : Rasulullah SAW bersabda : Seorang yang beriman, tidak pernah akan merasa puas dengan mendengar dan menerima pengetahuan yang bermanfaat (ia akan terus mau belajar), sehingga ia mati dan masuk sorga. (HR. Tirmidzi)
Selamanya jamaah tabligh tidak mungkin bersikap anti terhadap ilmu agama. Yang ada hanyalah keterbatasan waktu dan kemampuan untuk mempelajari ilmu–ilmu agama secara khusus. Memang diakui, bahwa sebagian dari jamaah dakwah dan tabligh ini kurang berbekal ilmu, disebabkan latar belakang mereka sebelumnya yang awam dan tidak mempedulikan agama, bahkan ada sebagian mereka yang benar–benar memusuhi agama.
Dan masalah kedua adalah sangat terbatasnya jumlah ahli–ahli ilmu yang mau berkorban mendatangi orang–orang awam ataupun mengiringi jamaah–jamaah dakwah yang sedang bergerak untuk mengajarkan agama kepada mereka.
Kerisauan mengenai hal ini, seringkali diungkapkan oleh Syiakh Muhammad Ilyas dan para musyaikh tabligh lainya. Diantaranya, syaikh Ilyas, berkata, “di dalam kerja Tabligh ini, ilmu dan dzikir mempunyai peranan dan perhatian yang sangat besar. Tanpa ilmu, tidak akan mudah untuk beramal, dan tidak akan mengenal amalan. Dan tanpa dzikir, ilmu akan menjadi kegelapan. Tidak akan dijumpai di dalamnya nur. Namun sayangnya hal ini terasa kurang dalam ahli–ahli dakwah.”
Beliau juga berkata, “Bagiku ilmu dan dzikir seandainya kurang dalam usaha ini adalah satu hambatan. Dan kekurangan ilmu dan dzikir ini adalah disebabkan kurangnya ahli–ahli ilmu dan ahli–ahli dzikir yang turut dalam usaha dakwah ini. Seandainya beliau–beliau para ahli ilmu dan dzikir menyingsingkan lengan mereka untuk kerja ini, maka akan menyempurnakan kerja ini.”
Untuk saat ini, ilmu masih terpenjara dala dua tempat; kitab – kitab agama dan para hati para ulama. Ilmu masih belum tersebar ke tengah masyarakat umum. Hal ini perlu diperbaiki secara bersama – sama.
Ada ungkapan syaikh Ilyas yang mahsyur, bahwa; “ilmu dan dzikir bagi gerakanku ini laksana dua pergelangan tangan. Seperti dua buah sayap. Seandainya satu sayap terlepas, maka burung tentu akan sulit terbang. “beliau juga berkata, “ilmu tanpa dzikir adalah kegelapan dan dzikir tanpa ilmu adalah pintu bagi banyak fitnah.”
Beliau juga berkata, “segala tindak tanduk dan amal perbuatan serta kesungguhan dan pengorbanan kalian akan menjadi rusak apabila kalian tidak ambil perhatian terhadap ilmu agama dan dzikrullah. Bahkan kalian dalam keadaan bahaya yang sangat besar serta besar kemungkinan jika kalian lalaikan kedua hal tadi, maka usaha dan perjuangan kalian akan menjadi pintu–pintu baru bagi fitnah dan kesesatan. Usaha dan perjuangan kalian tidak akan menjadi pintu bagi terbukanya agama. Seandainya ilu tidak dipelajari, maka islam dan iman sekedar adap istiadat saja. Dan seandainya ilmu ada namun tidak disertai dengan dzikrullah maka semua akan mejadi kegelapan.
Oleh karena itu, dalam hal ini jangan sekali–kali melalaikan kepentingan ilmu agama dan dzkir kepada Allah. Sebaliknya selalulah memberikan perhatian khusus terhadap keduanya. Jika tidak, maka usaha tabligh yang anda lakukan ini, sekedar gerakan saja dan Allah akn menunjukkan kerugian yang sangat besar kepada kalian.”
Hal inilah yang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para masyaikh Tabligh. Mereka menghendaki agar jamaah–jamaah yang dikirim dan jamaah itu hanya berisikan orang–orang awam, hendaknya mereka khuruj disertai setidak–tidaknya oleh orang alim dan seorang Hafizul Quran. Dan dikehendaki juga para ulama agar bersedia meluangkan waktunya untuk mendatangi masyarakat awam. Sebaliknya, dari masyarakat awam dikehendaki agar mereka mendatangi alim ulama untuk mengambil manfaat dari ilmu mereka.
Untuk mengatasinya, para masyaikh Tabligh sangat menekankan kepentingan ilmu dan mendorong setiap mereka agar belajar ilmu dan mendekati alim ulama. Syaikh Muhammad Ilyas berkata, “kami datang ke suatu tempat, lalu usaha sungguh–sungguh di sana, menjadikan mereka ahli agama, mentawajuhkan orang yang lalai, menghidupkan agama di ahli tempatan dan bagaimana agar orang – orang awam mereka meu ishlah diri mereka dengan mendatangi para ulama dan sholihin. Asal kerja di setiap tempat adalah menjadikan mereka karkun lalu faedah yang terbesar bagi orang awam adalah bila dapat menghubungkan mereka dengan para ahli agama di tempat mereka sendiri. Yang jelas cara kami ini diajarkan kepada setiap orang dimana mereka mau ikut dalm cara ta’lim, menjadikan dirinya berfaedah, dan mengambil faedah dari yang lain. Dan atas hal ini banyak keterbatasan yang ada pada kami.”
Syaikh Abul Hasan Ali An – Nadwi menulis di dalam Sawanih Yusufi; “Salah satu usaha dalam dakwah ini adalah menjadikan dakwah sebagai cara untuk mendatangkan orang awam kepada ulama, dan mewujudkan kerisauan ulama pada diri orang awam. Dan orang awam dapat memahami derajat ketinggian ulama, sehingga orang awam senantiasa mengambil manfaat dari para ulama. Sesuai dengan aturan dan penegasan atas hal ini, dianjurkan agar senantiasa berkhidmat kepada alim ulama.”
Dan semua itu, tentu tidak mungkin dilakukan oleh orang–orang yang membenci ilmu dan ulama. Bagaimana mungkin?
Artikel lumayan.
ReplyDelete